Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Dari Catatan Abdul Mutaqin

===

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib “guru” yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

“Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis.”

“Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?”

“Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang.”

“Kenyataannya memang begitu kan Mas?”, kata saya mengiayakan. “Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi.” Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

“Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?”

“Tidak ada. Habis.” jawab saya spontan.

“Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga.”

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

“Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis “, saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

“Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC.”

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.

“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

***

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur’an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)

Depok,

Ciputat, Ramadhan hari ke-18, Agustus 2010
abdul_mutaqin@yahoo.com

I’TIKAF

I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”

“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.

Itulah urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.

I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:

1. I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.

2. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.

Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari terakhir.

Syarat dan Rukun I’tikaf

Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.

Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.

Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”

I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.

Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.

Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.

I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.

I’tikaf bagi muslimah

I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.

Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.

Contoh Agenda I’tikaf

Magrib: ifthar dan shalat magrib

Isya: Shalat Isya dan tarawih berjamaah, ceramah tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan kajian akhlak. Tidur hingga jam 02.00. Qiyamullail, muhasabah, dzikir, dan doa. Sahur.

Subuh: shalat Subuh, dzikir dengan bacaan-bacaan yang ma’tsur (al-ma’tsurat), tadarus Al-Qur’an.

Pagi: istirahat, mandi, cuci, dan melaksanakan hajat yang lain.

Dhuha: shalat Dhuha, tadzkiyatun nafs, dan kuliah dhuha.

Zhuhur: shalat Zhuhur, kuliah zhuhur, dan tahsin tilawah.

Ashar: shalat Ashar dan kuliah ashar, dzikir dengan bacaan-bacaa yang ma’tsur (al-ma’tsurat).

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Injil, yang menjadi kepercayaan orang Nasrani, menyatakan pohon di mana Nabi Adam AS dilarang memakannya adalah pengetahuan. Oleh karena itu, setelah dia memakan buahnya, dia memperoleh pengetahuan tertentu yang mana tidak dia peroleh sebelumnya. Dengan alasan inilah orang Eropa membantah bahwa selama dua abad mereka tidak menerima pengetahuan ilmiah yang datang dari orang Islam.

Gereja menyatakan bahwa pencarian seperti penge tahuan ilmiah adalah penyebab dosa yang asli. Uskup menggambarkan bukti mereka dari Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa ketika Adam memakan pohon itu, ia mendapat beberapa pengetahuan, Allah tidak menyukainya dan menolak memberinya kemurahan hati. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah menolak sepenuhnya peraturan gereja yang dianggap sebagai hal yang tabu. Akhirnya, ketika pemikir bebas dan ilmuwan Barat sanggup mengatasi kekuatan gereja, mereka membalas dendam dengan mencari petunjuk yang berlawanan dan menekan beberapa kekuatan agama. Mereka beralih kepada hal-hal yang berlawanaan untuk mengatasi kekuatan gereja dan mengurangi pengaruhnya kepada hal yang sempit dan membatasi pada sudut-sudut tertentu.

Oleh karena itu, jika Anda membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi setelah malaikat yang berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang telah Allah firmankan kepada kita:

“Tuhan menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia, dan malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu yang tegak dengan keadilan. ” (QS AIi Imran : 18)

Dan Allah Yang Maha Agung dan Maha Muha berfirman kepada kita:

“Oleh sebab itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah “.

(QS Muhammad : 19)

Telah diketahui dari al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut al-Quran, kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan para pemikir Barat, mereka cenderung mengharapkan argumen yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukkan dengan fakta yang jelas sekali dari al-Quran dan Sunnah.

Di antara pemikir Barat yang menampakkan keterkejutannya itu adalah Prof. Dr. Joe Leigh Simpson, Ketua jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Pakar Molecular dan Genetika Manusia, Baylor College Medicine, Houston. Ketika kami pertama kali bertemu dengannya, Profesor Simpson menuntut pembuktian al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kami sanggup menghilangkan kecurigaannya. Kami menunjukkan kepadanya sebuah naskah garis besar perkembangan embrio. Kami membuktikan kepadanya bahwa al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa turunan atau hereditas dan sifat keturunan atau kromosom yang tersusun hanya bisa terjadi setelah perpaduan yang berhasil antara sperma dan ovum. Sebagaimana yang kita ketahui, kromosom-kromosom ini berisi semua sifat-sifat baru manusia yang akan menjadi mata, kulit, rambut, dan lain-lain.

Oleh karena itu, beberapa sifat manusia yang tersusun itu ditentukan oleh kromosomnya. Kromosom-kromosom ini mulai terbentuk sebagai permulaan pada tingkatan nutfah dari perkembangan embrio. Dengan kata lain, ciri khas manusia baru terbentuk sejak dari tingkatan nutfah yang paling awal. Allah Yang Maha Agung dan Yang Maha Mulia berfirman di dalam Al-Quran:

“Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari apakah dia di­ciptakan? Dari setetes air mani. (Tuhan) menciptakannya dan menentukan ukuran yang sepadan dengannya. ” (QS Abasa : 17-19)

Selama empat puluh hari pertama kehamilan, semua bagian dan organ tubuh telah sempurna atau lengkap, terbentuk secara berurutan. Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada kita di dalam hadisnya: “Setiap dari kamu, semua komponen penciptamu terkumpul dalam rahim ibumu selama empatpuluh hari.” Di dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Ketika setetes nuftah telah melewati 42 malam, Allah menyuruh seorang malaikat ke rahim perempuan, yang berkata: `Ya Tuhan! Ini laki laki atau perernpuan?’ Dan Tuhanmu memutus kan apa yang Dia kebendaki. “

Profesor Simpson mempelajari dua hadis ini secara intensif, yang mencatat bahwa empat puluh hari pertama itu terdapat tingkatan yang dapat dibedakan secara jelas atau embriogenesis. Secara khusus, Dia dibuat kagum dengan ketelitian yang mutlak dan keakuratan ke dua hadis tersebut. Kemudian dalam salali satu konferensi yang dihadirinya, dia memberikan pendapat sebagai berikut: “Dari kedua hadis yang telah tercatat dapat membuktikan kepada kita gambaran waktu secara spesifik perkembangan embrio sebelum sampai 40 hari. Terlebih lagi, Pendapat yang telah berulang-ulang dikemukakan pembicara yang lain pagi ini. bahwa kedua hadis ini telah menghasilkan dasar pengetahuan ilmiah yang mana rekaman mereka sekarang ini didapatkan”.

Profesor Simpson mengatakan bahwa agama dapat menjadi petunjuk yang baik untuk pencarian ilmu pengetahuan. Ilmuwan Barat telah menolak hal ini. Seorang ilmuwan Amerika mengatakan bahwa agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Dengan analogi, jika Anda pergi ke suatu pabrik dan Anda berpedoman pada mengoperasikan pabrik itu, kemudian Anda akan paham dengan mudah bermacam-macam pengoperasian yang berlangsung di pabrik itu. Jika Anda tidak memiliki pedoman ini, pasti tidak memiliki kesempatan untuk memahami secara baik variasi proses tersebut. Profesor Simpson berkata: “Saya pikir tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama, tetapi pada kenyataannya agama dapat menjadi petunjuk ilmu pengetahuan dengan tambahan wahyu ke beberapa pendekatan ilmiah yang tradisional. Ada kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid, yang mana al-Quran mendukung ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah.”

Inilah kebenaran. Orang-orang Islam tentunya dapat memimpin dalam cara pencarian ilmu pengetahuan dan mereka dapat menyampaikan pengetahuan itu daIam status yang sesuai. Terlebih lagi orang Islam mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu sebagai bukti keberadaan Allah, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia untuk menegaskan kerasulan Nabi Muhammad SAW

Allah berfirman di dalam al-Quran:

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ” (QS Fushshilat : 53)

Setelah menyadari melalui beberapa contoh keajaiban al-Quran secara ilmiah yang telah diketahui berhubungan dengan komentar yang objektif dari para ilmuwan, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:

Dapatkah hal ini mejadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam al-Quran yang telah turun pada 14 abad yang lalu?

Dapatkah al-Quran ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang lain?

Hanya jawaban yang mungkin untuk pertanyaan itu bahwa al-Quran secara harfiah adalah kata-kata atau firman Allah yang diturunkan kepadanya. Al-Quran adalah perkataan yang harfiah dari Allah yang Dia turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang melalui malaikat Jibril. Al-Quran ini dihapalkan oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian didiktekan kepada sahabat-sahabatnya. Para sahabat inilah yang selanjutnya secara bergiliran menghapalkannya, menulis ulang, dan memeriksa/meninjau lagi dengan Nabi Muhammad SAW

Terlebih lagi, Nabi Muhammad SAW memeriksa kembali al-Quran dengan malaikat Jibril sekali setiap bulan Ramadhan dan dua kali di akhir hidupnya pada kalender Hijriah yang sama. Sejak al-Quran diturunkan sampai hari ini, selalu ada banyak orang Islam yang menghapalkan semua ayat al-Quran surat demi surat. Sebagian dari mereka ada yang sanggup menghapal al-Quran pada waktu berumur 10 tahun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak ada satu surat pun di dalam al-Quran yang berubah selama berabad-abad sampai sekarang.

Al-Quran telah diturunkan 14 abad yang lalu menyebutkan fakta yang bacu ditemukan akhir-akhir ini yang telah dibuktikan oleh para ilmuwan. Hal ini membuktikan tidak ada keraguan bahwa al-Quran adalah firman yang harfiah dari Allah, yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah benar-benar nabi dan utusan yang diturunkan Allah. Hal ini adalah di luar alasan bahwa setiap manusia 14 abad yang lalu telah mengetahui beberapa fakta ini yang ditemukan atau dibuktikan akhir-akhir ini dengan peralatan canggih dan metode yang rumit.

Hidayah dan Dhalalah

Definisi Hidayah dan Dhalalah

Lafadz hidayah berasal dari hada-yahdi-hudan-hidayah, yang berarti ar-rosyad (kejelasan) dan ad-dalalah (petunjuk), sedangkan lafadz dhalal berasal dari dhalla-yadhillu-dhalla-dhalalatan, yang berarti dhidd ar-rosyad (kebalikan dari petunjuk dan kejelasan). Adapun pengertian hidayah secara syar’i adalah mengikuti petunjuk Islam dan mengimaninya, sementara dhalalah adalah menyimpang dari Islam. Dalam konteks inilah, Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku dalam kesesatan.”

(HR. At-Tarmidzi dari Ibn Umar).

Sumber Hidayah dan Dhalalah, Serta Pemahaman Atas Keduanya

Allah SWT telah menciptakan surga untuk orang-orang yang mendapatkan hidayah, sedangkan neraka untuk orang-orang yang mendapatkan dhalalah (kesesatan). Artinya, Allah SWT telah memberi pahala kepada orang yang mendapatkan petunjuk dan siksa kepada orang yang tersesat. Maka, ketika pahala dan siksa dikaitkan dengan hidayah dan dhalalah itu menunjukkan, bahwa hidayah dan dhalalah tersebut merupakan hasil usaha manusia, bukan karena ketentuan Allah SWT sebab ini akan menjadikan Allah dituduh zalim, ketika Allah menyiksa orang yang disesatkan-Nya, padahal kesesatan tersebut ditentukan oleh Allah. Sebab mengapa Dia menyesatkan, Dia juga yang menyiksa? Maha Suci Allah SWT. dari tuduhan seperti ini. Karena itu, Allah menolak tuduhan tersebut :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya.” (QS. Fushshilat : 46).

مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Dan Aku sekali-kali tidak akan berbuat zalim kepada manusia.” (QS. Qaaf: 29).

Meskipun demikian, banyak ayat yang menyatakan hidayah dan dhalalah tersebut merupakan masyi’ah Allah SWT sehingga dari ayat tersebut bisa dipahami, bahwa hidayah dan dhalalah bukanlah usaha manusia, tetapi murni dari Allah SWT. Di sisi lain, ada ayat-ayat yang menjelaskan, bahwa hidayah dan dhalalah tersebut merupakan hasil usaha manusia. Karena itu, ayat-ayat tersebut harus dipahami dengan pemahaman dengan merujuk pada penjelasan syara’. Dengan kata lain, realitas ayat-ayat tersebut harus dipahami dari aspek hukum syara’, sehingga akan terlihat, bahwa hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada perbuatan Allah SWT tersebut mempunyai konotasi yang berbeda dengan hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada manusia. Dengan demikian, makna hidayah dan dhalalah menurut syara’ juga akan menjadi jelas.

Memang, ayat-ayat hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada Allah telah menyatakan, bahwa Dialah Zat yang menunjukkan dan menyesatkan. Firman Allah SWT :

وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّ اللّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ

“Katakanlah (Muhammad) : ‘Sesungguhnya Allahlah yang menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan menunjukkan (jalan) kepadaNya terhadap siapa saja yang bertaubat kepadaNya.”

(QS. Ar-Ra’du: 27).

فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء

“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan menunjukkan  siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Fathir: 8).

يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء

“Tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjukkan siapa saja yang Dia kehendaki.”

(QS. An-Nahl : 93).

فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء

“Siapa saja yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, Dia akan lapangkan dadanya kepada Islam dan siapa saja yang Dia kehendaki untuk disesatkan, maka Dia akan menjadikan sempit lagi berat seakan-akan mendaki langit.” (QS. Al-An’am: 125).

قُلِ اللّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ

“Katakanlah : Allahlah Zat yang memberikan petunjuk kebenaran.” (QS. Yunus: 35).

وَقَالُواْ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ

“Mereka menyatakan : ‘Segala puji kepada Allah Zat yang memberikan petunjuk kepada kami (Islam) ini, dan kami tidak akan mendapat petunjuk kalau seandainya kami tidak akan diberikan petunjuk oleh Allah SWT.” (QS. Al-A’raaf: 43)

مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا

“Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang Dia sesatkan, maka tidak akan menemukan seorang penolongpun untuknya yang dapat memberi petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17).

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk orang yang kamu cintai sekalipun, tetapi Allahlah yang mampu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash : 56)

Berdasarkan manthuq (makna tersurat) ayat-ayat di atas ada bukti yang jelas, bahwa Zat yang memberi hidayah dan dhalalah adalah Allah SWT. Allahlah yang menyesatkan dan menunjukkan kepada siapa saja, dan bukannya manusia. Ini artinya, bahwa manusia tidak bisa memperoleh hidayah karena usahanya sendiri, jika Allah SWT tidak menghendakinya mendapatkan hidayah. Demikian juga ketika Allah menyesatkan, pasti siapapun akan tersesat. Hanya, konotasi di atas kemudian berubah setelah disertai qarinah (indikasi) yang mengubah konotasi hidayah dan dhalalah, di mana fungsi manusia adalah sebagai pihak yang melaksanakan agar hidayah dan dhalalah tersebut sampai kepada manusia.

Mengenai qarinah yang bisa mengalihkan makna tersebut dari makna langsung menjadi tidak langsung adalah qarinah syar’iyah dan aqliyah. Qarinah syar’iyyah yang dimaksud di sini adalah banyaknya ayat yang menyandarkan hidayah dan dhalalah tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman :

مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا

“Maka siapa saja yang mencari petunjuk sesungguhnya dia mencari petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan, siapa saja yang tersesat, sesungguhnya ia hanya menyesatkan dirinya sendiri.” (QS. Al-Israa: 15).

لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ

“Siapa saja yang tersesat tidak akan bisa membahayakan kamu, apabila kamu telah mendapati petunjuk.” (QS. Al-Maidah: 105).

فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ

“Maka siapa saja yang mendapatkan petunjuk sesungguhnya untuk dirinya sendiri.”

(QS. Az-Zumar: 41).

وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ

“Dan orang-orang kafir itu berdoa : ‘Wahai Tuhan kami tunjukkanlah kepada kami mereka yang bisa menyesatkan, baik dari kalangan jin dan manusia.” (QS. Fushshilat: 29)

قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي

“Katakanlah (wahai Muhammad) : ‘Apabila aku tersesat sesungguhnya hanya menyesatkan diriku sendiri.” (QS. Saba: 50).

Ayat-ayat di atas, dari aspek manthuq (makna tersurat)-nya dengan jelas menyatakan, bahwa manusialah yang mengusahakan hidayah dan dhalalah, di mana manusialah yang bisa menyesatkan dirinya sendiri juga orang lain. Syaitan juga demikian. Ayat-ayat di atas juga menyandarkan hidayah dan dhalalah tersebut pada manusia dan jin. Manusia juga bisa memperoleh petunjuk untuk dirinya, dan orang lain. Semuanya ini merupakan qarinah yang mngubah konotasi hidayah dan dhalalah secara langsung dari Allah, baik dalam konteks Zat Yang Maha Menciptakan maupun Yang Mengusahakannya, berubah pada konotasi Allah SWT sebagai Pencipta hidayah dan dhalalah, sedangkan pihak yang mengusahakannya adalah manusia. Dengan menggabungkan kedua macam ayat di atas, yang secara eksplisit (konotasi tekstualnya) kelihatan kontradiksi, bisa diperoleh makna syara’, bahwa Allahlah Zat Yang Maha Menciptakan hidayah dan dhalalah, sedangkan yang mengusahakan agar hidayah dan dhalalah tersebut sampai kepada dirinya, dan orang lain adalah manusia sendiri.

Mengenai qarinah aqliyah yang bisa mengubah konotasi hidayah dan dhalalah yang murni dari Allah menjadi konotasi hidayah dan dhalalah sebagai ciptaan Allah adalah ayat-ayat hisab yang meminta akuntabilitas manusia atas segala tindakannya semasa di dunia. Jika manusia mendapat petunjuk, Allah pun akan menimpakan siksa dan neraka kepadanya. Allah SWT berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Siapa saja yang melakukan kebajikan, itu untuk dirinya sendiri dan siapa saja yang melakukan keburukan, maka itupun untuk dirinya. Dan Tuhan kamu tidak pernah berbuat zalim kepada hambaNya.”

(QS. Fushshilat : 46)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)

“Maka siapa saja yang melakukan kebaikan meskipun hanya sebesar biji dzarrah, maka ia sendiri yang akan melihatnya, dan siapa saja yang melakukan kejahatan meski hanya sebesar biji dzarrah, maka ia sendiri juga pasti akan melihatnya.” (QS. Al-Zalzalah : 7-8)

مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ

“Siapa saja yang melakukan kejahatan, maka ia akan dibalas dengan balasan kejahatan.”

(QS. An-Nisa : 123).

وَعَدَ الله الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا

“Allah menjanjikan kepada orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang mnafik perempuan serta orang-orang kafir neraka jahanam, dimana mereka akan kekal didalamnya.” (QS. At-Taubah : 68)

Ayat-ayat ini menjelaskan, bahwa jika Allah menyiksa orang-orang kafir karena kesesatannya, sedangkan kesesatan tersebut ditentukan oleh Allah, maka berarti Allah zalim kepada mereka. Karena itu, Allah membantah anggapan tersebut:

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Dan sekali-kali Tuhanmu tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-Nya.” (QS. Fushshilat: 46)

Jadi, ayat-ayat diatas dengan tegas menolak, bahwa hidayah dan dhalalah sepenuhnya ‘perbuatan’ Allah SWT, sehingga Allah dipandang zalim karena menyiksa orang kafir. Karena itu, Allah kemudian menegaskan:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan kami telah memberikan dua pilihan (jalan).” (QS. Al-Balad: 10).

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Dan Dia telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) ada yang durjana dan ada yang bertakwa.” (QS. Asy-Syams: 8).

Ayat-ayat di atas menegaskan, bahwa Allah Maha Adil. Allah juga tidak akan menyiksa dan memberi pahala pada manusia, kecuali setelah ditunjukkan jalannya, yaitu jalan ke surga dan neraka, yang keduanya sama-sama ditunjukkan kepada manusia, sehingga ketika Allah menyiksa mereka yang tersesat itu bukan karena kesalahan Allah, melainkan karena merekalah yang bersalah. Sebab, mereka tidak mengikuti agama Allah. Jika mereka diberi pahala surga pun, bukan semata-mata karena kemurahan Allah, sehingga surga tersebut akan diberikan kepada siapa saja tanpa melihat usahanya. Tetapi, karena usaha merekalah, mereka diberi pahala dan surga oleh Allah. Dengan kata lain, manusia secara fitri telah diberi kecenderungan oleh Allah untuk beriman dan kufur. Inilah yang dimaksud, bahwa Allah SWT adalah Zat Pencipta hidayah dan dhalalah. Setelah diberi kecenderungan tersebut, manusia kemudian diberi pilihan dan dua alternatif, baik-buruk, surga-neraka, serta pahala-siksa.

Inilah hakikat hidayah dan dhalalah yang sesungguhnya, yakni dari konotasi langsung dari Allah, baik ciptaan maupun tindakan-Nya, menjadi makna tidak langsung, di mana hidayah dan dhalalah tersebut merupakan ciptaan Allah, sementara yang mengusahakannya adalah manusia. Karena manusia telah diberi potensi untuk mendapatkan keduanya. Bahkan tidak hanya itu, Allah SWT. juga menurunkan Rasul yang diberi tugas menjelaskan kedua jalan tersebut, sehingga setelah diutusnya Rasul tidak ada lagi yang melemparkan umpatan dan tuduhan pada Allah dengan mengatakan, bahwa Allah SWT. tidak adil, dengan berbagai alasan. Firman Allah:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“Dan Kami tidak akan menyiksa (siapa saja ) sebelum Kami mengutus Rasul.” (QS. Al-Israa: 15)

لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“Supaya manusia tidak mempunyai alasan (macam-macam) dihadapan Allah setelah diutusnya Rasul.”

(QS. An-Nisaa: 165)

Inilah gambaran yang sesungguhnya mengenai hidayah dan dhalalah tersebut. Dengan gambaran tersebut, jelas bahwa usaha manusia mencari hidayah berbeda dengan usaha manusia mencari rizki. Sebab, usaha mencari hidayah pasti akan berhasil, sedangkan usaha mencari rizki belum tentu berhasil. Sebab, usaha mencari rizki belum tentu berhasil. Ini dibuktikan dengan balasan pahala dan dosa yang diberikan oleh Allah kepada manusia terkait dengan hidayah dan dhalalah tersebut. Sementara dalam masalah rizki, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Mengenai beberapa ayat al-Qur’an yang menyatakan, bahwa Allah SWT berfirman:

وَاسْمَعُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang fasiq.” (QS. Al-Maidah: 108)

وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258).

وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264).

Ayat-ayat tersebut tidak bisa diartikan, bahwa Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kepada orang kafir, fasiq dan zalim. Ayat-ayat ini maksudnya adalah, bahwa karena hidayah adalah ciptaan Allah dan untuk memperolehnya Allah tidak akan memberikan jalan, yaitu ketaatan hingga orang tersebut memperoleh hidayah-Nya, maka ketika mereka mencari hidayah dengan menempuh jalan kemaksiatan, seperti kefasikan, kekufuran, atau kezaliman, pasti hidayah tersebut tidak akan sampai kepada mereka. Jadi, hidayah tersebut tidak diberikan oleh Allah kepada orang fasik, zalim dan kufur, karena jalan mereka salah. Mencari hidayah melalui jalan kefasikan, kezaliman atau kekufuran.

Ada suatu masalah yang belum dijelaskan diatas, yaitu adanya orang-orang yang ditetapkan oleh Allah untuk diberi hidayah, sebagaimana yang disampaikan oleh Allah SWT. kepada Nabi-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ(6)خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ

“ Sesungguhnya orang-orang kafir, baik kamu peringatkan ataukah tidak mereka sama saja; mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati, pendengaran serta penglihatan mereka.”

(QS.Al-Baqarah : 6-7).

Ayat ini merupakan informasi dari Allah yang diberikan kepada para Nabi, mengenai adanya orang-orang yang tidak akan pernah beriman. Semuanya ini ada dalam pengetahuan Allah. Hanya tidak berarti ada kelompok manusia yang beriman dan tidak. Sebaliknya, semua manusia mempunyai potensi beriman dan kafir, sedangkan mereka yang dinyatakan tidak beriman, berarti bahwa ilmu Allah Maha Tahu, yakni adanya orang tertentu yang tidak beriman, karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sementara apa yang belum diberitahukan kepada kita, maka kita pun tidak bisa memastikan,misalnya si A atau si B telah ditutup hatinya oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak berhak dilakukan oleh siapapun. Sebab, ia tidak pernah tahu ilmu-Nya atas orang tersebut.

Dengan demikian, para pengemban dakwah tidak seharusnya putus asa ketika mengajak orang lain menuju jalan kebenaran. Sebab, orang itulah yang hakikatnya menentukan hidayah untuknya, sehingga dia mendapatkan petunjuk atau tidak. Jika dia bersungguh-sungguh mencarinya, pasti akan bisa memperoleh. Di sini fungsi pengemban dakwah dan Rasul adalah menjelaskan jalan yang sesat dan jalan yang benar kepada orang banyak agar mereka bisa memperoleh hidayah-Nya.

GUGURNYA DOSA BERSAMA TETESAN AIR WUDLU

“Abu Nadjih (Amru) bin Abasah Assulamy r.a berkata : Pada masa Jahiliyah, saya merasa bahwa semua manusia dalam kesesatan, karena mereka menyembah berhala. Kemudian saya mendengar berita ; Ada seorang di Mekkah memberi ajaran-ajaran yang baik. Maka saya pergi ke Mekkah, di sana saya dapatkan Rasulullah SAW masih sembunyi-sembunyi, dan kaumnya sangat congkak dan menentang padanya.
Maka saya berdaya-upaya hingga dapat menemuinya, dan bertanya kepadanya : Apakah kau ini ?
Jawabnya : Saya Nabi.
Saya tanya : Apakah nabi itu ?
Jawabnya : Allah mengutus saya.
Diutus dengan apakah ?
Jawabnya : Allah mengutus saya supaya menghubungi famili dan menghancurkan berhala, dan meng-Esa-kan Tuhan dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Saya bertanya : Siapakah yang telah mengikuti engkau atas ajaran itu ?
Jawabnya : Seorang merdeka dan seorang hamba sahaya ( Abubakar dan Bilal ).

Saya berkata : Saya akan mengikuti kau. Jawabnya : Tidak dapat kalau sekarang, tidakkah kau perhatikan keadaan orang-orang yang menentang kepadaku, tetapi pulanglah kembali ke kampung, kemudian jika telah mendengar berita kemenanganku, maka datanglah kepadaku. Maka segera saya pulang kembali ke kampung, hingga hijrah Rasulullah SAW ke Madinah, dan saya ketika itu masih terus mencari berita, hingga bertemu beberapa orang dari familiku yang baru kembali dari Madinah, maka saya bertanya : Bagaimana kabar orang yang baru datang ke kota Madinah itu ? Jawab mereka : Orang-orang pada menyambutnya dengan baik, meskipun ia akan dibunuh oleh kaumnya, tetapi tidak dapat. Maka berangkatlah saya ke Madinah dan bertemu pada Rasulullah S.A.W. Saya berkata : Ya Rasulullah apakah kau masih ingat pada saya ?

Jawabnya : Ya, kau yang telah menemui saya di Mekkah. Lalu saya berkata : Ya Rasulullah beritahukan kepada saya apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan belum saya ketahui. Beritahukan kepada saya tentang shalat ? Jawab Nabi : Shalatlah waktu Shubuh, kemudian hentikan shalat hingga matahari naik tinggi sekadar tombak, karena pada waktu terbit matahari itu seolah-olah terbit di antara dua tanduk syaitan, dan ketika itu orang-orang kafir menyembah sujud kepadanya.

Kemudian setelah itu kau boleh shalat sekuat tenagamu dari sunnat, karena shalat itu selalu disaksikan dan dihadiri Malaikat, hingga matahari tegak di tengah-tengah, maka di situ hentikan shalat karena pada saat itu dinyalakan Jahannam, maka bila telah telingsir dan mulai ada bayangan, shalatlah, karena shalat itu selalu disaksikan dan dihadiri Malaikat, hingga shalat Asar. Kemudian hentikan shalat hingga terbenam matahari, karena ketika akan terbenam matahari itu seolah-olah terbenam di antara dua tanduk syaithan dan pada saat itu bersujudlah orang-orang kafir.

Saya bertanya : Ya Nabiyullah : Ceriterakan kepada saya tentang wudlu’ ! Bersabda Nabi : Tiada seorang yang berwudlu’ lalu berkumur dan menghirup air, kemudian mengeluarkannya dari hidungnya melainkan keluar semua dosa-dosa dari mulut dan hidung. Kemudian jika ia membasuh mukanya menurut apa yang diperintahkan Allah, jatuhlah dosa-dosa mukanya dari ujung jenggotnya bersama tetesan air. Kemudian bila membasuh kedua tangan sampai kedua siku, jatuhlah dosa-dosa dari ujung jari-jarinya bersama tetesan air. Kemudian mengusap kepala maka jatuh semua dosa dari ujung rambut bersama tetesan air, kemudian membasuh dua kaki ke mata kaki, maka jatuhlah semua dosa kakinya dari ujung jari bersama tetesan air. Maka bila ia shalat sambil memuja dan memuji Allah menurut lazimnya, dan membersihkan hati dari segala sesuatu selain Allah, maka keluar dari semua dosanya bagaikan lahir dari perut ibunya ” ( HR. Muslim )

“Ketika Amru bin Abasah menceritakan hadits ini kepada Abu Umamah, oleh Abu Umamah ditegur : Hai Amru bin Abasah perhatikan keteranganmu itu, masakan dalam satu perbuatan orang diberi ampun demikian rupa. Jawab Amru : Hai Abu Umamah, telah tua usiaku, dan rapuh tulangku, dan hampir ajalku, dan tiada kepentingan bagiku untuk berdusta terhadap Allah atau Rasulullah S.A.W.
Andaikan saya tidak mendengar dari Rasulullah, hanya satu dua atau tiga empat kali, atau lima enam tujuh kali tidak akan saya ceritakan, tetapi saya telah mendengar lebih dari itu ” ( HR. Muslim )

How to Escape from Fitnah: Fifteen Pointers

1 – Fear Allah and Keep Your Duty to Him

{“…and whoever fears Allah and keeps his duty to Him, He will make a way for him to get out of every difficulty.”} [at-Talaq; 2]

{“…and whoever fears Allah and keeps his duty to Him, He will make his matter easy for him.”} [at-Talaq; 4]

2 – Place Your Trust in Allah

{“…and whosoever puts his trust in Allah, then He will suffice him.”} [at-Talaq; 3]

{“Those to whom the people said: “Verily, the people have gathered against you, so, fear them.” But it only increased them in faith, and they said: “Allah is Sufficient for us, and He is the Best Disposer of affairs!” So, they returned with Grace and Bounty from Allah. No harm touched them; and they followed the good Pleasure of Allah, and Allah is the Owner of Great Bounty.”} [Al ‘Imran; 173-4]

3 – Repent and Turn to Allah with Humility

{“And Yunus, when he went off in anger, and imagined that We would not punish him! But he cried through the darkness: “None has the right to be worshipped but You, Glorified are You. Truly, I have been of the wrong-doers.” So, We answered his call, and delivered him from distress, and thus We do deliver the believers.”} [al-Ambiya’; 87-8]

{“Verily, We sent Messengers to many nations before you, and We seized them with extreme poverty and loss in health with calamities so that they might believe with humility. When Our Torment reached them, why then did they not believe with humility? But their hearts became hardened, and Satan beautified for them that which they used to do.”} [al-An’am; 42-3]

{“And indeed We seized them with punishment, but they did not humble themselves to their Lord, nor did they invoke with submission to Him.”} [al-Mu’minun; 76]

4 – Seek Strength Through Patience and Prayer

{“O you who believe! Seek help in patience and prayer. Truly! Allah is with the patient ones.”} [al-Baqarah; 153]

{“Indeed, We know that your heart is strained at what they say. So glorify the praises of your Lord and be of those who prostrate themselves to Him.”} [al-Hijr; 97-8]

{“And Verily, they were about to frighten you so much as to drive you out from the land. But in that case they would not have stayed after you, except for a little while. This was Our rule with the Messengers We sent before you, and you will not find any alteration in Our rule. Perform the prayer from mid-day till the darkness of the night, and recite the Qur’an in the early dawn. Verily, the recitation of the Qur’an in the early dawn is ever witnessed. And in some parts of the night, also offer the prayer with it as an optional prayer. It may be that your Lord will raise you to a station of praise and glory!”} [al-Isra’; 76-9]

{“So bear patiently what they say, and glorify the praises of your Lord before the rising of the sun, and before its setting, and during some of the hours of the night, and at the ends of the day that you may become pleased with the reward that Allah will give you.”} [Ta Ha; 130]

{“Many of the people of the Book wish that they could turn you away as disbelievers after you have believed, out of envy from their ownselves, even after the truth has become clear to them. But forgive and overlook until Allah brings His Command. Verily, Allah is Able to do all things. And perform the prayer and give charity, and whatever of good you send forth for yourselves before you, you shall find it with Allah. Certainly, Allah is All-Seer of what you do.”} [al-Baqarah; 110-1]

5 – The Prophet Would Wake His Family to Pray to Prepare for the Fitnah

Umm Salamah – the wife of the Prophet – reported that one night, the Messenger of Allah got up and said: “Glory be to Allah! How many trials have descended tonight, and how many treasures have been disclosed! Go and wake the sleeping women of these houses up to pray. A well-dressed person in this world may be naked in the Hereafter.”

[Reported by al-Bukhari (7069) and at-Tirmidhi (2196)]

6 – Congregational Prayer During the Times of Fitnah

‘Abdullah bin ‘Udayy reported that he went to visit ‘Uthman bin ‘Affan when he was under siege in his home, and said to him: “You are our leader, and we see what has happened to you, and we are led in prayer by the originator of this tribulation, and we feel uneasy about praying behind him.” So, ‘Uthman said to him: “The prayer is the best of the people’s actions, so, if the people do something good, then participate in that action with them. If they do something bad, then avoid participating in that action with them.”

[‘Sahih al-Bukhari’; # 695]

Ibn Hajar said:

“And in this narration, there is an encouragement to pray with the congregation – especially during the times of tribulation – so that the Muslims would not be divided. Also, it proves that the prayer behind one that is disliked takes precedence over abandoning the congregational prayer.” [‘Fath al-Bari’; 2/190]

7 – Happiness Is for the One Who Avoids Fitnah

al-Miqdad bin al-Aswad reported that he heard the Messenger of Allah say: “Verily, the happy one is the one who avoids tribulations! Verily, the happy one is the one who avoids tribulations! Verily, the happy one is the one who avoids tribulations, and how excellent is the one who is subject to tribulation, yet he is patient!”

[Reported by Abu Dawud (4263), and it is authentic]

8 – Escape from Fitnah

Abu Sa’id al-Khudri reports that he heard the Messenger of Allah say: “One day, the best wealth that a Muslim has will be some livestock that he herds to the peaks of the mountains and the bottoms of the valleys, seeking to escape with his religion from the trials and tribulations.”

[Reported by al-Bukhari (19), Abu Dawud (4267), an-Nasa’i (8/123), and Ibn Majah (3980)]

It was asked of the Messenger of Allah: “O Messenger of Allah! Who is the best of people?” He replied: “A believer who strives in the Path of Allah with his soul and his wealth.” He was then asked: “Then who?” He replied: “A believer in a secluded area who fears Allah and protects the people from his evil.”

[Reported by al-Bukhari (2786), Muslim (1888), Abu Dawud (2485), at-Tirmidhi (1660), an-Nasa’i (6/11), and Ibn Majah (3978)]

Salamah bin al-Akwa’ reported that one time, he entered upon al-Hajjaj bin Yusuf, so he said to him: “O Ibn al-Akwa’! Have you returned to being a bedouin?” Salamah replied:”No; rather, the Messenger of Allah allowed me to remain with the bedouins (during the times of tribulation).”

[‘Sahih al-Bukhari’; # 7087]

*Issue: Is It Better to Seclude Oneself from the People or Mix With Them?

Ibn Hajar mentions – quoting al-Khattabi:

“The ruling on seclusion and mixing depends on the situation. The clear proofs encourage mixing with the people when this involves acts of obedience and fulfilling the affairs of their religion, and the opposite is true when the situation is reversed (i.e., when this involves disobedience). As for physically mixing and secluding oneself, then, for the one who fears for himself in terms of his livelihood and his religion, then it is upon him to seclude himself from the people as long as he maintains the congregational prayer, spreading and answering the greetings of peace, and the rights of the Muslims that include attending funerals and visiting the sick. Rather, what is intended here is to avoid unnecessary socialization, because of what that leads to of wasting of energy and time that could be used for better things, and to make one’s mixing with the people similar to his need for food: he limits himself to that which he needs, as this is more relaxing for the body and the soul, and Allah Knows best.” [‘Fath al-Bari’; 11/333]

al-Qushayri said, in ‘ar-Risalah’:

“The path of the one who chooses seclusion is that he should believe that he is protecting the people from his harm, not the opposite. The first case indicates one’s belittling of himself, and this is a trait of the humble. The second case indicates his assumption of his superiority to others, and this is a trait of the arrogant.”

Ibn Taymiyyah said:

“A person must have time for himself to engage in supplication, remembrance, prayer, reflection, taking himself to account, and rectifying his heart. These are issues that nobody else can participate with him in. These are affairs that need to be seen to on an individual basis, whether that be in his home or otherwise, as Tawus said: “How excellent of a refuge is the home; in it, one can restrain his gaze and his tongue.”” [‘Majmu’ al-Fatawa’; 10/425]

Ibn ‘Umar said: “The Muslim that mixes with the people and is patient upon their harm is better than the Muslim who does not mix with the people and is not patient upon their harm.”

[Reported by at-Tirmidhi (2507), Ahmad (5/365), and Ibn Majah (4032). and it is authentic]

9 – Deal With the Oppressors

{“And fear a trial which will not only affect those of you who do wrong.”} [al-Anfal; 25]

ash-Shawkani says, in regards to this verse:

“(meaning), fear a trial that will not be limited to the wrongdoer. Rather, it will strike the righteous and the wicked, and it’s affects will not be limited to those of you who engage in oppression.” [‘Fath al-Qadir’; 2/299]

an-Nu’man bin Bashir reported that the Messenger of Allah said: “The example of the one who is steadfast on preserving the limits of Allah and the one who has fallen over it is that of a people that are on a boat. Some of them go to the top and the others go to the bottom. Those on the bottom – in order for them to drink – had to disturb those on top. So they said to themselves: “Let us make a hole in the bottom of the boat in this portion of ours, so as not to disturb those above.” If the people on top leave them to what they want to do, they will all die. If they deal with them and stop them, they will save everyone.”

[Reported by al-Bukhari (2493) and at-Tirmidhi (2173)]

Abu Bakr reported that he heard the Messenger of Allah say: “Verily, if the people see an oppressor and do not deal with him, then eventually, they might be struck with a punishment from Allah.”

[Reported by at-Tirmidhi (2168), and it is authentic]

Sa’id bin Zayd reported that a group of people were with the Messenger of Allah while he was describing to them some trials that would afflict them, and they were great and mighty events that were being mentioned. So, some of the people said to the Prophet: “O Messenger of Allah! If we were to present during these times, we would be destroyed!” So, the Prophet said: “It is enough of a mercy for you that you would be killed during these times.”

[Reported by Aby Dawud (4277), Ahmad (1/189), and it is authentic]

10 – Fitnah is Worse than Death

{“And tribulation is worse than killing.”} [al-Baqarah; 191]

at-Tabari said, in his ‘Tafsir’:

“This means that for a believer to be put to trial in regards to his religion – and for him to become a disbeliever in Allah after he was a believer – is worse for him than that he is killed while he is strong and upright upon his religion, holding firm to it.”

11 – Do Not Add to the Populations of the People of Fitnah

Ibn ‘Umar reported that he heard the Messenger of Allah say: “If Allah brings down a torment upon a people, then this torment will affect everyone who lives among them, then they will be resurrected upon their actions.”

[Reported by Muslim (2879)]

Ibn Hajar said:

“What is meant by “everyone who lives among them” is everyone who does not even necessarily agree with those people’s opinions.” [‘Fath al-Bari’; 13/60]

12 – Leave the Land of Fitnah

Abu Sa’id al-Khudri reported that the Messenger of Allah said: “Among those before you there was a man who killed ninety-nine people. He asked who was the most knowledgeable man in the world and was directed to a monk. He went to him and said that he had killed ninety-nine people and was repentance possible for him? The monk said: “No,” so he killed him and made it a hundred. Then he again asked who was the most knowledgeable man on earth and was directed to a man of knowledge. He said that he had killed a hundred people, so was repentance possible for him? The man said: “Yes, who can come between you and repentance? Go to such-and-such a land, where there are some people worshipping Allah. Worship Allah with them and do not return to your own country. It is an evil place.” So he went and then, when he was half way there, he died. The Angels of Mercy and Angels of Punishment started to argue about him. The Angels of Mercy said: “He came in repentance, turning with his heart to Allah.” The Angels of Punishment said: “But, he has not done a single good action.” An angel came in a human form and they appointed him as an arbitrator between them. He said: “Measure the distance between the two countries and whichever one he is nearer to, that is the one he belongs to.” They measured and found he was nearer to the land to which he was going, so the Angels of Mercy took him.”

[Reported by al-Bukhari (3470), Muslim (2766), Ibn Majah (2622), and Ahmad (3/72)]

13 – Hold Firm to the Book of Allah and the Sunnah of the Messenger of Allah

al-’Irbad bin Sawiyah reported that the Messenger of Allah led the people in prayer one day, then proceeded to give them an emotional speech that caused the people to weep. One of them said: “O Messenger of Allah! It is as if this is a farewell speech, so what do you advise us with?” So, he said: “I advise you to fear Allah, to listen and to obey even if an Ethiopian slave was placed in authority over you, for whoever lives after you will see great division and differences. So, it is upon you to stick to my Sunnah and that of the righly guided khalifahs after me. Bite onto it with your molar teeth, and beware of newly invented matters, for every newly invented matter is an innovation, and every innovation is a form of misguidance.”

[Reported by Abu Dawud (4607), at-Tirmidhi (2676), Ahmad (4/126), Ibn Majah (43), ad-Darimi (1/44), al-Hakim (1/95), and it is authentic]

14 – The Virtue of Worship in the Times of Fitnah

Mu’aqqal bin Yasar reported that the Messenger of Allah said: “Worship during the times of tribulation is equivalent to a migration to me.”

[‘Sahih Muslim’; # 2848]

an-Nawawi said:

“The reason that worship during such times is so virtuous is that the majority of the people will be heedless of it and will be preoccupied from it, and none will devote themselves to it except for a few individuals.” [‘Sharh Sahih Muslim’; 5/809]

15 – Remain Silent During Times of Fitnah

‘Abdullah bin ‘Amr reported that the Messenger of Allah said: “Whoever remains silent, then he is saved.”

[Reported by at-Tirmidhi (2501), Ahmad (2/159), ad-Darimi (2/229), and Ibn al-Mubarak in ‘az-Zuhd’ (385), and it is authentic]

Ibn ‘Umar said: “Excessive speech did not emerge during the time of the Messenger of Allah, or Abu Bakr, or ‘Umar, or ‘Uthman. Rather, it emerged during the time of tribulations.”

[Reported by Ibn Hibban in ‘Mawarid ath-Dhaman’; # 111]

[Adapted from a chapter by Mustafa al-‘Adawi in his book ‘as-Sahih al-Musnad min al-Fitan wal-Malahim wa Ashrat as-Sa’ah’; p. 229-270]

And Allah Knows best.