Definisi Hidayah dan Dhalalah
Lafadz hidayah berasal dari hada-yahdi-hudan-hidayah, yang berarti ar-rosyad (kejelasan) dan ad-dalalah (petunjuk), sedangkan lafadz dhalal berasal dari dhalla-yadhillu-dhalla-dhalalatan, yang berarti dhidd ar-rosyad (kebalikan dari petunjuk dan kejelasan). Adapun pengertian hidayah secara syar’i adalah mengikuti petunjuk Islam dan mengimaninya, sementara dhalalah adalah menyimpang dari Islam. Dalam konteks inilah, Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku dalam kesesatan.”
(HR. At-Tarmidzi dari Ibn Umar).
Sumber Hidayah dan Dhalalah, Serta Pemahaman Atas Keduanya
Allah SWT telah menciptakan surga untuk orang-orang yang mendapatkan hidayah, sedangkan neraka untuk orang-orang yang mendapatkan dhalalah (kesesatan). Artinya, Allah SWT telah memberi pahala kepada orang yang mendapatkan petunjuk dan siksa kepada orang yang tersesat. Maka, ketika pahala dan siksa dikaitkan dengan hidayah dan dhalalah itu menunjukkan, bahwa hidayah dan dhalalah tersebut merupakan hasil usaha manusia, bukan karena ketentuan Allah SWT sebab ini akan menjadikan Allah dituduh zalim, ketika Allah menyiksa orang yang disesatkan-Nya, padahal kesesatan tersebut ditentukan oleh Allah. Sebab mengapa Dia menyesatkan, Dia juga yang menyiksa? Maha Suci Allah SWT. dari tuduhan seperti ini. Karena itu, Allah menolak tuduhan tersebut :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya.” (QS. Fushshilat : 46).
مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan Aku sekali-kali tidak akan berbuat zalim kepada manusia.” (QS. Qaaf: 29).
Meskipun demikian, banyak ayat yang menyatakan hidayah dan dhalalah tersebut merupakan masyi’ah Allah SWT sehingga dari ayat tersebut bisa dipahami, bahwa hidayah dan dhalalah bukanlah usaha manusia, tetapi murni dari Allah SWT. Di sisi lain, ada ayat-ayat yang menjelaskan, bahwa hidayah dan dhalalah tersebut merupakan hasil usaha manusia. Karena itu, ayat-ayat tersebut harus dipahami dengan pemahaman dengan merujuk pada penjelasan syara’. Dengan kata lain, realitas ayat-ayat tersebut harus dipahami dari aspek hukum syara’, sehingga akan terlihat, bahwa hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada perbuatan Allah SWT tersebut mempunyai konotasi yang berbeda dengan hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada manusia. Dengan demikian, makna hidayah dan dhalalah menurut syara’ juga akan menjadi jelas.
Memang, ayat-ayat hidayah dan dhalalah yang dikembalikan kepada Allah telah menyatakan, bahwa Dialah Zat yang menunjukkan dan menyesatkan. Firman Allah SWT :
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّ اللّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ
“Katakanlah (Muhammad) : ‘Sesungguhnya Allahlah yang menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan menunjukkan (jalan) kepadaNya terhadap siapa saja yang bertaubat kepadaNya.”
(QS. Ar-Ra’du: 27).
فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء
“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan menunjukkan siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Fathir: 8).
يُضِلُّ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء
“Tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjukkan siapa saja yang Dia kehendaki.”
(QS. An-Nahl : 93).
فَمَن يُرِدِ اللّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء
“Siapa saja yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, Dia akan lapangkan dadanya kepada Islam dan siapa saja yang Dia kehendaki untuk disesatkan, maka Dia akan menjadikan sempit lagi berat seakan-akan mendaki langit.” (QS. Al-An’am: 125).
قُلِ اللّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ
“Katakanlah : Allahlah Zat yang memberikan petunjuk kebenaran.” (QS. Yunus: 35).
وَقَالُواْ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ
“Mereka menyatakan : ‘Segala puji kepada Allah Zat yang memberikan petunjuk kepada kami (Islam) ini, dan kami tidak akan mendapat petunjuk kalau seandainya kami tidak akan diberikan petunjuk oleh Allah SWT.” (QS. Al-A’raaf: 43)
مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
“Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang Dia sesatkan, maka tidak akan menemukan seorang penolongpun untuknya yang dapat memberi petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 17).
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk orang yang kamu cintai sekalipun, tetapi Allahlah yang mampu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash : 56)
Berdasarkan manthuq (makna tersurat) ayat-ayat di atas ada bukti yang jelas, bahwa Zat yang memberi hidayah dan dhalalah adalah Allah SWT. Allahlah yang menyesatkan dan menunjukkan kepada siapa saja, dan bukannya manusia. Ini artinya, bahwa manusia tidak bisa memperoleh hidayah karena usahanya sendiri, jika Allah SWT tidak menghendakinya mendapatkan hidayah. Demikian juga ketika Allah menyesatkan, pasti siapapun akan tersesat. Hanya, konotasi di atas kemudian berubah setelah disertai qarinah (indikasi) yang mengubah konotasi hidayah dan dhalalah, di mana fungsi manusia adalah sebagai pihak yang melaksanakan agar hidayah dan dhalalah tersebut sampai kepada manusia.
Mengenai qarinah yang bisa mengalihkan makna tersebut dari makna langsung menjadi tidak langsung adalah qarinah syar’iyah dan aqliyah. Qarinah syar’iyyah yang dimaksud di sini adalah banyaknya ayat yang menyandarkan hidayah dan dhalalah tersebut kepada manusia. Allah SWT berfirman :
مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا
“Maka siapa saja yang mencari petunjuk sesungguhnya dia mencari petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan, siapa saja yang tersesat, sesungguhnya ia hanya menyesatkan dirinya sendiri.” (QS. Al-Israa: 15).
لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Siapa saja yang tersesat tidak akan bisa membahayakan kamu, apabila kamu telah mendapati petunjuk.” (QS. Al-Maidah: 105).
فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ
“Maka siapa saja yang mendapatkan petunjuk sesungguhnya untuk dirinya sendiri.”
(QS. Az-Zumar: 41).
وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ
“Dan orang-orang kafir itu berdoa : ‘Wahai Tuhan kami tunjukkanlah kepada kami mereka yang bisa menyesatkan, baik dari kalangan jin dan manusia.” (QS. Fushshilat: 29)
قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي
“Katakanlah (wahai Muhammad) : ‘Apabila aku tersesat sesungguhnya hanya menyesatkan diriku sendiri.” (QS. Saba: 50).
Ayat-ayat di atas, dari aspek manthuq (makna tersurat)-nya dengan jelas menyatakan, bahwa manusialah yang mengusahakan hidayah dan dhalalah, di mana manusialah yang bisa menyesatkan dirinya sendiri juga orang lain. Syaitan juga demikian. Ayat-ayat di atas juga menyandarkan hidayah dan dhalalah tersebut pada manusia dan jin. Manusia juga bisa memperoleh petunjuk untuk dirinya, dan orang lain. Semuanya ini merupakan qarinah yang mngubah konotasi hidayah dan dhalalah secara langsung dari Allah, baik dalam konteks Zat Yang Maha Menciptakan maupun Yang Mengusahakannya, berubah pada konotasi Allah SWT sebagai Pencipta hidayah dan dhalalah, sedangkan pihak yang mengusahakannya adalah manusia. Dengan menggabungkan kedua macam ayat di atas, yang secara eksplisit (konotasi tekstualnya) kelihatan kontradiksi, bisa diperoleh makna syara’, bahwa Allahlah Zat Yang Maha Menciptakan hidayah dan dhalalah, sedangkan yang mengusahakan agar hidayah dan dhalalah tersebut sampai kepada dirinya, dan orang lain adalah manusia sendiri.
Mengenai qarinah aqliyah yang bisa mengubah konotasi hidayah dan dhalalah yang murni dari Allah menjadi konotasi hidayah dan dhalalah sebagai ciptaan Allah adalah ayat-ayat hisab yang meminta akuntabilitas manusia atas segala tindakannya semasa di dunia. Jika manusia mendapat petunjuk, Allah pun akan menimpakan siksa dan neraka kepadanya. Allah SWT berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Siapa saja yang melakukan kebajikan, itu untuk dirinya sendiri dan siapa saja yang melakukan keburukan, maka itupun untuk dirinya. Dan Tuhan kamu tidak pernah berbuat zalim kepada hambaNya.”
(QS. Fushshilat : 46)
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)
“Maka siapa saja yang melakukan kebaikan meskipun hanya sebesar biji dzarrah, maka ia sendiri yang akan melihatnya, dan siapa saja yang melakukan kejahatan meski hanya sebesar biji dzarrah, maka ia sendiri juga pasti akan melihatnya.” (QS. Al-Zalzalah : 7-8)
مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Siapa saja yang melakukan kejahatan, maka ia akan dibalas dengan balasan kejahatan.”
(QS. An-Nisa : 123).
وَعَدَ الله الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
“Allah menjanjikan kepada orang-orang munafik laki-laki dan orang-orang mnafik perempuan serta orang-orang kafir neraka jahanam, dimana mereka akan kekal didalamnya.” (QS. At-Taubah : 68)
Ayat-ayat ini menjelaskan, bahwa jika Allah menyiksa orang-orang kafir karena kesesatannya, sedangkan kesesatan tersebut ditentukan oleh Allah, maka berarti Allah zalim kepada mereka. Karena itu, Allah membantah anggapan tersebut:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali Tuhanmu tidak pernah berbuat zalim kepada hamba-Nya.” (QS. Fushshilat: 46)
Jadi, ayat-ayat diatas dengan tegas menolak, bahwa hidayah dan dhalalah sepenuhnya ‘perbuatan’ Allah SWT, sehingga Allah dipandang zalim karena menyiksa orang kafir. Karena itu, Allah kemudian menegaskan:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan kami telah memberikan dua pilihan (jalan).” (QS. Al-Balad: 10).
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Dan Dia telah memberikan petunjuk kepadanya (manusia) ada yang durjana dan ada yang bertakwa.” (QS. Asy-Syams: 8).
Ayat-ayat di atas menegaskan, bahwa Allah Maha Adil. Allah juga tidak akan menyiksa dan memberi pahala pada manusia, kecuali setelah ditunjukkan jalannya, yaitu jalan ke surga dan neraka, yang keduanya sama-sama ditunjukkan kepada manusia, sehingga ketika Allah menyiksa mereka yang tersesat itu bukan karena kesalahan Allah, melainkan karena merekalah yang bersalah. Sebab, mereka tidak mengikuti agama Allah. Jika mereka diberi pahala surga pun, bukan semata-mata karena kemurahan Allah, sehingga surga tersebut akan diberikan kepada siapa saja tanpa melihat usahanya. Tetapi, karena usaha merekalah, mereka diberi pahala dan surga oleh Allah. Dengan kata lain, manusia secara fitri telah diberi kecenderungan oleh Allah untuk beriman dan kufur. Inilah yang dimaksud, bahwa Allah SWT adalah Zat Pencipta hidayah dan dhalalah. Setelah diberi kecenderungan tersebut, manusia kemudian diberi pilihan dan dua alternatif, baik-buruk, surga-neraka, serta pahala-siksa.
Inilah hakikat hidayah dan dhalalah yang sesungguhnya, yakni dari konotasi langsung dari Allah, baik ciptaan maupun tindakan-Nya, menjadi makna tidak langsung, di mana hidayah dan dhalalah tersebut merupakan ciptaan Allah, sementara yang mengusahakannya adalah manusia. Karena manusia telah diberi potensi untuk mendapatkan keduanya. Bahkan tidak hanya itu, Allah SWT. juga menurunkan Rasul yang diberi tugas menjelaskan kedua jalan tersebut, sehingga setelah diutusnya Rasul tidak ada lagi yang melemparkan umpatan dan tuduhan pada Allah dengan mengatakan, bahwa Allah SWT. tidak adil, dengan berbagai alasan. Firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Dan Kami tidak akan menyiksa (siapa saja ) sebelum Kami mengutus Rasul.” (QS. Al-Israa: 15)
لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“Supaya manusia tidak mempunyai alasan (macam-macam) dihadapan Allah setelah diutusnya Rasul.”
(QS. An-Nisaa: 165)
Inilah gambaran yang sesungguhnya mengenai hidayah dan dhalalah tersebut. Dengan gambaran tersebut, jelas bahwa usaha manusia mencari hidayah berbeda dengan usaha manusia mencari rizki. Sebab, usaha mencari hidayah pasti akan berhasil, sedangkan usaha mencari rizki belum tentu berhasil. Sebab, usaha mencari rizki belum tentu berhasil. Ini dibuktikan dengan balasan pahala dan dosa yang diberikan oleh Allah kepada manusia terkait dengan hidayah dan dhalalah tersebut. Sementara dalam masalah rizki, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Mengenai beberapa ayat al-Qur’an yang menyatakan, bahwa Allah SWT berfirman:
وَاسْمَعُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang fasiq.” (QS. Al-Maidah: 108)
وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258).
وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264).
Ayat-ayat tersebut tidak bisa diartikan, bahwa Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kepada orang kafir, fasiq dan zalim. Ayat-ayat ini maksudnya adalah, bahwa karena hidayah adalah ciptaan Allah dan untuk memperolehnya Allah tidak akan memberikan jalan, yaitu ketaatan hingga orang tersebut memperoleh hidayah-Nya, maka ketika mereka mencari hidayah dengan menempuh jalan kemaksiatan, seperti kefasikan, kekufuran, atau kezaliman, pasti hidayah tersebut tidak akan sampai kepada mereka. Jadi, hidayah tersebut tidak diberikan oleh Allah kepada orang fasik, zalim dan kufur, karena jalan mereka salah. Mencari hidayah melalui jalan kefasikan, kezaliman atau kekufuran.
Ada suatu masalah yang belum dijelaskan diatas, yaitu adanya orang-orang yang ditetapkan oleh Allah untuk diberi hidayah, sebagaimana yang disampaikan oleh Allah SWT. kepada Nabi-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ(6)خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ
“ Sesungguhnya orang-orang kafir, baik kamu peringatkan ataukah tidak mereka sama saja; mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati, pendengaran serta penglihatan mereka.”
(QS.Al-Baqarah : 6-7).
Ayat ini merupakan informasi dari Allah yang diberikan kepada para Nabi, mengenai adanya orang-orang yang tidak akan pernah beriman. Semuanya ini ada dalam pengetahuan Allah. Hanya tidak berarti ada kelompok manusia yang beriman dan tidak. Sebaliknya, semua manusia mempunyai potensi beriman dan kafir, sedangkan mereka yang dinyatakan tidak beriman, berarti bahwa ilmu Allah Maha Tahu, yakni adanya orang tertentu yang tidak beriman, karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sementara apa yang belum diberitahukan kepada kita, maka kita pun tidak bisa memastikan,misalnya si A atau si B telah ditutup hatinya oleh Allah. Tindakan seperti ini tidak berhak dilakukan oleh siapapun. Sebab, ia tidak pernah tahu ilmu-Nya atas orang tersebut.
Dengan demikian, para pengemban dakwah tidak seharusnya putus asa ketika mengajak orang lain menuju jalan kebenaran. Sebab, orang itulah yang hakikatnya menentukan hidayah untuknya, sehingga dia mendapatkan petunjuk atau tidak. Jika dia bersungguh-sungguh mencarinya, pasti akan bisa memperoleh. Di sini fungsi pengemban dakwah dan Rasul adalah menjelaskan jalan yang sesat dan jalan yang benar kepada orang banyak agar mereka bisa memperoleh hidayah-Nya.
Agustus 11, 2010
Kategori: Aqidah Islamiyah . . Penulis: Pride Saputro . Comments: Tinggalkan komentar